Tenaga Medis Tengah Menyuntikkan Obat Dalam Infus Pasien.

Coolturnesia  Gorontalo - Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Seorang perawat pria yang tugas jaga malam, datang dan menyuntikkan dua jenis obat berbentuk cair melalui saluran infus. Tidak hanya menyuntikkan obat, Ia juga memeriksa gula darahku. Pagi itu, gula darahku 179, masih jauh dari normal. Ia pun menyuntikkan insulin ke bahu lenganku. Cekatan sekali Ia bekerja. Dalam hitangan menit Ia menyelesaikan tugasnya.

Tidak lama berselang dari sang suster tadi, petugas konsumsi masuk ruangan. Dengan suara sedikit lantang Dia berkata, Bapak-Ibu, silahkan ambil makan paginya, ujarnya. Beberapa kali Ia mengulang pengumuman itu.

Segera saja keluarga pasien, termasuk istriku, mengambil piring dan menuju tempat troli makanan yang berada di luar ruangan. Menu pagi ini bubur dengan kuah asam ikan tongkol. Obat yang harus aku minum pagi ini pun menyusul tak lama kemudian. Obat-obat itu diantar oleh suster pria yang sebelumnya menyuntikkan obat melalui infus.

Segera setelah menandaskan menu sarapan pagi, empat butir obat aku telan dengan mudah. Aku bukan tipe orang yang susah menelan obat. Ada orang yang kesusahan menelan obat. Mereka harus memasukkannya ke dalam buah pisang untuk menelannya.

Tiap pagi dokter sarafku datang dan menayakan perkembangan sakitku.

Bagaimana Pak, ada keluhan sakt yang dirasakan hari ini, tanyanya.

Pertanyaan sederhana itu aku jawab dengan singkat dan padat. tidak ada dok, semua saya rasa normal, jawabku.

Sang dokter pun kembali bertanya

Betah tinggal di sini pak, tidak mau pidah kelas? tanyanya singkat sembari tersenyum ramah.

Tidak dokter, Jalani saja sesuai prosedur, jawabku singkat.

Mungkin sang dokter rada prihatin dengan kondisi kelas perawatanku. Tetapi menurutku ruang perawatan kelas tiga itu cukup nyaman. Meskipun ada air conditioning-nya, tapi masih terasa panas. Maklum ruang cukup besar dengan penghuni yang banyak, tidak didukung dengan AC yang memadai.

Untuk mengusir panas, keluarga pasien perlu menyediakan kipas angin sendiri, atau sekedar kipas manual dari apa saja, yang penting bisa mengurangi panas. Satu hari penuh Kami merasakan panas itu, karena tidak ada kipas yang Kami bisa gunakan.

Yah itu lah salah satu konsekuensi dari ruang perawatan kelas tiga, yang masih untung ada AC menyala. Suka tidak suka fasilitas itu yang harus diterima. Berbeda dengan ruang perawatan kelas atas yang cukup dingin AC-nya dan terasa pribadi. Seperti beberapa ruang perawatan yang pernah aku kunjungi ketika menjenguk orang yang sakit.

Hari kedua perawatan rada lumayan. Karena aku diantar kipas angin portable. Rasa panas waktu siang dan malam hari, sedikit dapat dikurangi dengan hembusan angin dari sang kipas.

Saat-saat jam makan siang dan malam, seperti biasa petugas konsumsi akan datang dan memberikan pengumunan, keluarga pasien untuk mengambil jatah makan siang dan malam. Setelah itu diikuti dengan meminum obat yang diresepkan untukku.

Satu yang cukup menggelitik batinku adalah menu makannya selama perawatan sama, bubur beras dan sepotong ikan laut dikuah asam. Atau mungkin itu menu standar menu Kami. Tetapi lumayan lah untuk memenuhi kebutuhan makan Saya, karena banyak orang sakit tidak bernafsu makan atau bahkan tidak bisa makan. Tetapi bukan Saya. Seluruh makanan yang disediakan selalu tandas.

Namanya juga orang sakit, menjawab pertanyaan dokter yang berkunjung, menjalani perawatan, minum obat yang diberikan suster atas rekomendasi dokter, suntik insulin untuk menekan gula darah yang tinggi, dan istirahat (kalua gak mau disebut tidur), itulah rutinitas yang harus Aku jalani setiap hari, selama dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dunda Limboto. Semua dilakukan sebagai upaya kesembuhan…… (Bersambung)

0 Comments

Leave A Comment