Dr. Herwin Mopangga (Ekonom Kemenkeu Provinsi Gorontalo/Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo).

Coolturnesia - Gorontalo - Inflasi, masih menjadi instrumen yang mengganggu kinerja perekonomian Provinsi Gorontalo di triwulan IV-2023 dan triwulan I-2024. Efek negatif inflasi yang tidak terkendali dapat berdampak luas, mulai dari pelemahan daya beli konsumen, disinsentif bagi produsen karena semakin mahalnya biaya produksi, mahalnya biaya bunga yang ditanggung oleh investor, menurunkan daya saing dan kemampuan importir, bertambahnya jumlah dan persentase orang miskin, hingga membengkaknya beban pengeluaran negara dan daerah untuk memitigasi dampak buruk inflasi tersebut.

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Gorontalo, tingkat inflasi Gorontalo Maret 2024 sebesar 4,13% year on year (yoy), dibanding Maret 2023. Desember 2023, inflasi berada di angka 3,88% yoy, yang berarti mengalami kenaikan. Secara bulanan, inflasi sebesar 0,81% month to month (mtm), Maret 2024 terhadap Februari 2024, yang terjadi karena adanya kenaikan harga, terutama kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 9,26%. Beras menyumbang 0,8% pada inflasi bulanan (mtm) serta 2,39% pada inflasi tahunan (yoy). Telur ayam ras sebesar 0,13% mtm dan 0,28% yoy. Komoditi lain yang konsisten berkontribusi pada inflasi daerah adalah tomat, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, minyak goreng, ikan (laut) dan gula pasir.

Pemerintah Provinsi Gorontalo dan kabupaten/kota bersama instansi vertikal yang tergabung dalam Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), sejatinya terus berkoordinasi dan melaksanakan langkah-langkah untuk memastikan 4K yaitu Keterjangkauan harga, Ketersediaan pasokan, Kelancaran distribusi dan Komunikasi efektif. Meskipun demikian harus diakui, harga belum turun cukup signifikan dibandingkan dengan periode yang sama di 2023. Dari sisi ketersediaan atau stok, Bulog memastikan dalam kondisi cukup sejak awal tahun hingga puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Tetapi stok yang ada, cukup rentan bila ada peningkatan permintaan atau pembelian dalam jumlah banyak di masyarakat. Kekhawatiran ini terbukti sejak akhir Januari hingga awal Maret menjelang puasa. Di mana harga beras kategori medium dan premium melambung tinggi. Mahalnya harga beras ikut mengerek naik harga komoditi substitusinya di pasar tradisional, seperti pisang, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan tepung terigu. Beberapa jenis ikan laut dan ikan air tawar serta sayur mayur dan buah-buahan juga ikut terdampak, sehingga hal itu semakin memperlemah daya beli konsumen.

Faktor pemicu inflasi pangan meliputi, pertama, luas panen dan produktivitas lahan yang cenderung menurun terdampak dari alih fungsi lahan. Kedua, adanya ketergantungan modal kerja pelaku usaha pertanian (petani) pada pengepul dan atau pemilik gilingan dalam praktek ijon atau tengkulak. Ketiga, pasokan terdampak anomali cuaca, gangguan hama serta irigasi teknis. Keempat, permintaan lokal terus meningkat akibat migrasi dan pertumbuhan penduduk. Kelima, dilema memenuhi kebutuhan lokal versus dijual ke daerah lain terutama ke Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Keenam, mata rantai pasokan yang tidak efisien mendorong permainan harga, serta ketujuh, harga pasar yang memang selalu lebih tinggi dibanding harga pembelian pemerintah.

Lebih lanjut, persoalan inflasi pangan dari hulu ke hilir disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan permintaan konsumen yang terjadi secara berkala, atas implikasi dari budidaya produksi yang kurang efektif, gagal panen dan perubahan iklim, skala ekonomi yang tidak efisien, serta inefisiensi struktur pasar, dan rantai distribusi pasokan yang relatif panjang. Pengendalian harga pangan adalah upaya jangka pendek yang harus dilakukan pemerintah, untuk menekan tingkat kemiskinan atau minimal tidak terjadi kenaikan jumlah orang miskin.

Langkah strategis dan program yang dapat ditempuh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota bisa berbentuk, Pertama, tetap menggiatkan operasi pasar (pasar murah) sebagai upaya stabilisasi pasokan dan harga pangan. Kedua, penguatan ketahanan pangan strategis, dengan mempertahankan 20% Dana Desa untuk Program Ketahanan Pangan, serta alokasi lahan / penentuan kawasan pangan kabupaten/kecamatan. Ketiga, dukungan subsidi ongkos angkut. Keempat, Peningkatan pemanfaatan alat mesin pertanian dan sarana produksi pertanian/perkebunan. Kelima, penguatan infrastruktur teknologi, informasi dan komunikasi neraca pangan daerah. Keenam, Penguatan koordinasi dan komunikasi untuk menjaga ekspektasi inflasi.

Program tersebut diharapkan memberi manfaat berupa, Pertama, mengendalikan tekanan inflasi pangan. Kedua, mendorong peningkatan produksi pangan. Ketiga, mendukung ketahanan pangan lokal, regional dan nasional. Keempat, menjaga kestabilan (meningkatkan) daya beli masyarakat. Kelima, pemulihan ekonomi daerah secara berkelanjutan.

Dalam jangka menengah dan panjang, bentuk kebijakan provinsi bisa dalam bentuk, pertama, investasi dalam infrastruktur untuk menekan biaya distribusi dan mengurangi tekanan inflasi. Kedua, program pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Ketiga, mengarahkan fungsi pasar tradisional sebagai media distribusi produk lokal.

Selanjutnya bentuk kebijakan kabupaten/kota dalam mengendalikan inflasi pangan jangka menengah dan panjang, yaitu pertama, memperkuat pengelolaan dan regulasi pasar modern untuk mengontrol harga dan inflasi. Kedua, mendorong peningkatan produksi lokal untuk mengurangi ketergantungan produk impor. Ketiga, mengoptimalkan sistem logistik untuk menurunkan biaya distribusi barang.(*)

Penulis: Dr. Herwin Mopangga (Ekonom Kemenkeu Provinsi Gorontalo/Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo)

0 Comments

Leave A Comment