Tangkapan Layar Webinar

Coolturnesia – Gorontalo - Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone bekerjasama dengan Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (BIOTA), The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo menggelar webinar dengan topik apa kabar anoa di TNBNW? Selasa (26/07). Webinar dikuti sebanyak 235 orang.

Kegiatan itu menghadirkan beberapa narasumber berkopeten. Mereka adalah Drh Indra Exploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diwakili Niken Wuri Handayani. Ada pula Abd Haris Mustari Peneliti Anoa sekaligus Dosen IPB. Dini Rahmanita Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Muda Balai TNBNW, dan Haydin Rais Faizin Pelaksana monitoring Anoa dengan camera trap/jebak. Duta Burung, Ajeng Mawaddah Sebagai moderator. 

Dalam paparannya, Niken Wuri Handayani menyajikan kebijakan konservasi anoa. Menurutnya anoa merupakan satwa liar milik negara yang merupakan aset bagi negara dapat dilihat dari nilai dan fungsinya terhadap lingkungan. Seperti nilai guna langsung (produk fisik), nilai guna tidak langsung (jasa lingkungan), nilai eksisting, nilai warisan, dan nilai pilihan lainnya.

“Anoa menjadi asset negara adalah dengan tidak kehilangan materi genetik, jenis, dan ekosistem yang tidak tergantikan. Anoa sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia,” kata Niken.

Lebih lanjut Niken menjelaskan ukuran keberhasilan pengelolaan satwa liar. Antara lain diukur dari manfaat satwa liar sebagai asset negara terhadap negara dan rakyat, kesadaran, regulasi yang berpihak terhadap satwa. Selain itu peningkatan populasi di habitat alaminya, dan pemulihan populasi akibat degradasi.

Ia juga mengingatkan jika kehilangan suatu spesies sebagai entitas ekologi, akan berdampak pada terganggunya kestabilan (berupa rantai makanan) sebuah ekosistem, dan terancamnya spesies lain dari kepunahan.

Doktor Abd Haris Mustari, narasumber yang paling ditunggu dalam peserta webinar itu menyajikan hasil-hasil riset dan pengalaman di lapangan selama melakukan riset anoa di sejumlah daerah di Sulawesi.

Peneliti kondang anoa ini menegaskan, anoa merupakan fauna maskot Sulawesi. Fauna duta (ambassador Sulawesi/Indonesia), spesies kunci (keystone species of forest ecosystem), spesies payung (umbrella species in Sulawesi) dan juga sebagai spesies bendera (flagship species for conservation in Sulawesi).

Haris menjelaskan terdapat 2 jenis anoa. Yaitu anoa dataran rendah dan anoa dataran tinggi. Namun ia menyiratkan dalam waktu dekat ini, akan ada hasil penelitian yang akan dipublikasikan terkait jenis anoa ini.

“Anoa gunung lebih liar, lebih lincah, lebih kecil fisiknya. Badannya memang harus kecil untuk  berakrobat di habitatnya,” kata Abd Haris Mustari.

Dua spesies ini menurutnya bisa saja melakukan perkawinan alami, namun anaknya kemungkinan besar infertile/tidak subur.

Anoa merupakan satwa yang kehidupannya sangat bergantung pada hutan primer, ia bisa hidup antara ketinggian 0-2500 m hingga di atas 3000 m untuk jenis anoa pegunungan. Anoa juga sangat bergantung pada ketersedian air. Biasa ditemukan sebagai individu yang soliter atau 1-3 individu dalam satu kelompok. Dalam setahun hanya ada 1 kelahiran.

“Berat anoa dataran rendah antara 70-110 kg, sedangkan untuk anoa pegunungan beratnya lebih rendah hanya 5—60 kg,” ujar Haris.

Untuk bisa bertemu satwa ini, Abd Haris Mustari memberikan daerah yang suka didatangi anoa, yaitu di sekitar sumber air (sungai, danau, rawa, mata air, feeding ground) yang digunakan sebagai sumber minum maupun untuk mandi/berkubang. Di sekitar pohon yang sedang berbuah terutama jenis-jenis buah yang disukai oleh satwa seperti beringin (Ficus spp), Dongi/dengen (Dillenia ochreata, D.serrate, D.celebica), Moniwang (Parkia roxburghii), rao (Dracontomelon dao dan D. Mangiferum), Pangi (Pangium edule), dan Sukun hutan (Artocarpus elastic). Anoa juga menyukai area sekitar hutan Riparian (Riverine Forest), hutan mangrove ketika saat air laut surut, serta hutan di sekitar mata air panas dan sumber sesapan garam mineral (Salt Lick).

Dari Balai TNBNW, Dini Rahmanita, seorang Pengendali ekosistem Hutan (PEH) muda menyajikan cara-cara pengolahan data lapangan yang diambil melalui kamera jebak (camera trap). Proses pengolahan data ini sangat penting sebagai sajian informasi yang membantu proses pengambilan keputusan, upaya pelestarian, publikasi ilmiah hingga informasi ke masyarakat. Proses pengolahan data ini juga digunakan sebagai bahan penyadartahuan masyarakat. Data-data lapangan yang diproses oleh Dini ini, berasal dari petugas lapangan.

Cerita suka duka memasang kamera jebak ini juga dikisahkan oleh Haydin Rais yang juga staf Balai TNBNW. Ceritanya sangat menarik. Ia membeberkan persiapan sebelum masuk hutan, kebutuhan apa saja yang dibawa hingga saat di dalam hutan. Semua disajikan dengan rinci dengan penuh semangat.

Webinar yang dilaksanakan Balai TNBNW ini merupakan salah satu sarana kolaborasi dengan Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (BIOTA), The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo. 

Selain kolaborasi ini, Lembaga-lembaga ini juga beberapa kali melakukan Kerjasama di lapangan, terutama untuk mengenalkan peran dan fungsi taman nasional. Penguatan kapasitas masyarakat yang hidup di desa-desa penyangga, serta ekspos informasi terkait flora fauna di dalam kawasan ini.(*rls)

0 Comments

Leave A Comment